Undangan Termurah Goa

Lambang Kesultanan Makassar
Kerajaan Gowa-Tallo atau yang nantinya akan menjadi Kesultanan Islam Makassar merupakan sebuah periode panjang Kerajaan Gowa yang berlokasi di wilayah Makassar. Kerajaan  ini sangat mendominasi di wilayah nusantara bagian timur karena telah melakukan hubungan dagang dengan cakupan wilayah yang cukup besar.
Secara jelasnya bisa kalian baca di postingan ini. Atau kalian bisa mendownload file Makalah Kerajaan Gowa-Tallo, Makalah Kerajaan Gowa, Makalah Kesultanan Gowa-Tallo, ataupun Kesultanan Makassar yang sebenarnya merupakan lingkaran kerajaan yang sama di link dibawah ini.

Satu lagi, jangan lupa untuk turut berdonasi demi kemajuan blog ini dgn mengklik i**k**l**a**n yang ada, dan lebih diutamakan * pada bagian header.


A.    KERAJAAN GOWA
Sebelum Islam datang, Kerajaan Gowa telah berdiri dengan Tomanurung sebagai raja pertama. Namun, tak banyak catatan sejarah yang menyebutkan perjalanan kerajaan tersebut.
Kapan tepatnya berdiri kerajaan pun tak ada data sejarah yang mengabarkan. Menurut Prof Ahmad M Sewang dalam Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI Sampai Abad XVII, Kerajaan Gowa diperkirakan berdiri pada abad ke-14.
Sebelum kerajaan tersebut berdiri, kawasannya sudah dikenal dengan nama Makassar dan masyarakatnya disebut dengan suku Makassar. Wilayah ini pun pernah menjadi bagian kekuasaan Majapahit.
Gowa dan Tallo pra-Islam merupakan kerajaan kembar milik dua bersaudara. Berawal di pertengahan abad ke-16, pada masa pemerintahan Gowa IV Tonatangka Lopi, ia membagi wilayah Kerajaan menjadi dua bagian untuk dua putranya, Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero. Hal ini dikarenakan kedua putranya sama-sama ingin berkuasa.
Batara Gowa melanjutkan kekuasaan sang ayah yang meninggal dunia dengan memimpin Kerajaan Gowa sebagai Raja Gowa VII. Sedangkan adiknya, Karaeng Loe ri Sero, mendirikan kerajaan baru bernama Tallo.
Dalam perjalanannya, dua kerajaan bersaudara ini dilanda peperangan bertahun-tahun. Hingga kemudian pada masa Gowa dipimpin Raja Gowa X, Kerajaan Tallo mengalami kekalahan. Kedua kerajaan kembar itu pun menjadi satu kerajaan dengan kesepakatan “Rua Karaeng se’re ata” (dua raja, seorang hamba).
Sejak keduanya menyepakati perjanjian maka siapa pun yang menjabat sebagai Raja Tallo, menjabat sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa. Para sejarawan kemudian menamakan kedua kerajaan Gowa dan Tallo dengan Kerajaan Makassar.
B.     LETAK KERAJAAN GOWA-TALLO
Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Makassar sebenarnya adalah ibukota Gowa yang dulu disebut sebagai Ujungpandang. Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan besar dan   berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara. Berikut adalah peta Sulawesi Selatan pada saat itu.


C.    KERAJAAN GOWA-TALLO / MAKASSAR
Era baru pun dimulai ketika Gowa dan Tallo bersatu. Inilah masa ketika kerajaan mulai bangkit menjadi kekuatan besar di Sulawesi Selatan. Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 menyebutkan, Gowa memiliki sebuah sistem wewenang ganda yang timbul akibat aliansi politik antara Kesultanan Gowa dan Tallo. Para sultan berasal dari garis keturunan Gowa, sedangkan perdana menterinya berasal dari garis Tallo. Sistem ketatanegaraan dibentuk sedemikian rupa sehingga tidak menghilangkan sama sekali kekuasaan Raja Tallo. Sejak saat itu, orang sering menyebut Gowa Tallo secara bersama-sama sebagai Kerajaan Makassar.
Setelah dua kerajaan bersatu, tepatnya pada masa Tonipalangga (1546-1565 M) dengan perdana menteri dari Tallo, Nappakata’tana Daeng Padulung, ditetapkan sebuah program politik ekspansi untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan tetangga. Politik itu pun berjalan baik. Pedalaman Bugis dan perairan Bone mampu dikuasai Gowa-Tallo.
Kebesaran Kerajaan Gowa-Tallo / Makassar tidak lain terjadi karena beberapa faktor, antara lain:
1.      Letaknya strategis.
2.      Memiliki Pelabuhan yang baik.
3.      Jatuhnya Malaka pada tahun 1511 ke tangan Portugis yang menyebabkan pedagang Islam pindah ke Makassar.
4.      Era baru pun dimulai ketika Gowa dan Tallo bersatu. Inilah masa ketika kerajaan mulai bangkit menjadi kekuatan besar di Sulawesi Selatan. Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 menyebutkan, Gowa memiliki sebuah sistem wewenang ganda yang timbul akibat aliansi politik antara Kesultanan Gowa dan Tallo. Para sultan berasal dari garis keturunan Gowa, sedangkan perdana menterinya berasal dari garis Tallo. Sistem ketatanegaraan dibentuk sedemikian rupa sehingga tidak menghilangkan sama sekali kekuasaan Raja Tallo. Sejak saat itu, orang sering menyebut Gowa Tallo secara bersama-sama sebagai Kerajaan Makassar.
5.      Setelah dua kerajaan bersatu, tepatnya pada masa Tonipalangga (1546-1565 M) dengan perdana menteri dari Tallo, Nappakata’tana Daeng Padulung, ditetapkan sebuah program politik ekspansi untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan tetangga. Politik itu pun berjalan baik. Pedalaman Bugis dan perairan Bone mampu dikuasai Gowa-Tallo. Hingga menjadi kerajaan teresar di Indonesia Timur saat itu.
6.      Tallo berperan besar sebagai kota bandar bagi kerajaan Gowa. Menjadi simpul perdagangan Asia-Pasifik bersama kota bandar Sunda Kelapa di Pulau Jawa sebelum akhirnya diporakporandakan oleh VOC yang berhasil memonopoli jalur perdagangan di nusantara.
D.    PEMELUKAN ISLAM
Ketika kerajaan Gowa – Tallo memperluas wilayah dan pada saat yang sama banyak pedagang dari kepulauan nusantara yang menetap di Makassar. Mereka terdiri atas pedagang Melayu dari Pahang, Patani, Johor, Campa, Minangkabau, dan Jawa.
Berdasarkan Lontara Pattorioloang (Lontara Sejarah), pada masa pemerintahan Raja Gowa X Tonipalangga, terdapat sebuah perkampungan Muslim di Makassar. Penduduk kampung Muslim terdiri atas para pedagang Melayu tersebut. Bahkan, pada masa pemerintahan raja berikutnya, Tonijallo (1565-1590 M), berdiri sebuah masjid di Manggallekanna, tempat para pedagang itu bermukim.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia menuturkan, baik sumber asing maupun naskah kuno memaparkan, kehadiran Islam di Makassar telah ada sejak abad sebelum kedatangan Tome Pires (1512-1515 M).
Pasalnya, penjelajah Barat itu menceritakan bahwa Makassar sudah melakukan hubungan perdagangan dengan Malaka, Kalimantan, dan Siam. Akan tetapi, penguasa-penguasa lebih dari 50 negeri di Pulau Sulawesi saat itu masih menganut berhala atau belum Islam.
Meski telah ada permukiman Muslim dan masjid di sana, Islam baru benar-benar tampak saat Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam. Menurut Sewang, para pemukim dari Melayu berinisiatif mendakwahkan Islam kepada para raja. Mereka pun kemudian mengundang tiga ulama dari Kota Tengah (Minangkabau) untuk mengislamkan Kerajaan Gowa-Tallo.
Inisiatif untuk mendatangkan mubaligh khusus ke Makassar sudah ada sejak Anakkodah Bonang (Nahkodah Bonang 3), seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang, berada di Gowa pada 1525. Akan tetapi, baru berhasil setelah memasuki awal abad 17 dengan kehadiran tiga orang mubaligh yang bergelar datuk dari Minangkabau.
Para mubaligh yang datang ke Makassar disebut dengan Dalto Tallu (Tiga Dato) atau sumber lain menyebut Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar). Ketiganya bersaudara dan berasal dari Kota Tengah, Minangkabau. Mereka, yakni Dato’ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal), Dato’ri Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), Dato’ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu).
Prof Andi Zainal dalam Sejarah Sulawesi Selatan menuturkan, ketiga ulama tersebut tidak datang serta-merta langsung mendakwahkan Islam kepada para raja. Mereka terlebih dahulu mempelajari kebudayaan Bugis-Makassar di Riau dan Johor.Pasalnya, di dua tempat tersebut banyak etnis Bugis-Makassar bermukim. Baru setelah sampai di Makassar, mereka menemui para pedagang Melayu yang tinggal di sana. Dari keterangan merekalah diketahui bahwa raja yang paling dihormati adalah Datuk Luwu’, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallo dan Raja Gowa. Maka, tiga raja itulah yang menjadi objek dakwah para ulama Melayu tersebut.
Pada awalnya para mubaligh tersebut berhasil mengislamkan Raja Luwu, yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 1013 H atau 4-5 Februari 1605 M. Kemudian, mereka pun berhasil mengislamkan Kerajaan Gowa-Tallo.
Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M. Ia pun kemudian bergelar Sultan Abdullah. Selanjutnya, Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M. Secara resmi, raja dari kerajaan Gowa-Tallo memeluk agama Islam.
Maka, dengan Islamnya kerajaan tersebut, dakwah Islam pun kemudian menyebar dengan pesat. Jika Aceh merupakan “Serambi Makkah” Indonesia, Gowa-Tallo adalah “Serambi Madinah”-nya. Karena di Gowa-Tallo, syariat Islam diterapkan kemudian didakwahkan ke timur Indonesia.Setelah Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam, penyebaran Islam di Sulawesi dan bagian timur Indonesia sangat pesat. Kerajaan Gowa-Tallo berhasil menorehkan tinta emas sejarah peletakan dasar dan penyebaran Islam di bagian timur negeri ini.
Prof DR Ahmad M Sewang MA dalam Islamisasi Kerajaan Gowa: abad XVI sampai abad XVII menuturkan, peristiwa masuk Islamnya Raja Gowa-Tallo merupakan tonggak sejarah dimulainya penyebaran Islam di Sulawesi Selatan.
Pasalnya, terjadi konversi Islam secara besar-besaran pascaperistiwa tersebut. Penerimaan Islam dimulai dari sebuah dekrit yang dikeluarkan pemimpin Gowa-Tallo, Sultan Alauddin, pada 9 November 1607 M. Dekrit tersebut menyatakan Islam sebagai agama resmi kerajaan dan agama masyarakat.
Saat dekrit dikeluarkan, dakwah Islam masih berlangsung dengan damai. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan Gowa-Tallo pra-Islam pun dengan sukarela menerima agama Allah ini. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Namun, hambatan dakwah mulai muncul ketika Raja Gowa-Tallo menyerukan Islam ke tiga kerajaan Bugis. Ketiga kerajaan yang tergabung dalam aliansi Tellunpoccoe menolak seruan tersebut. Maka, terjadilah perang antara Kerajaan Makassar yang terdiri atas Kerajaan Gowa dan Tallo dan Kerajaan Bugis yang terdiri atas Kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo.
Menurut artikel Islam di Kerajaan Gowa-Tallo; Menelusuri Jejak-jekak Islam dalam Kaitannya dengan Penyebaran Islam di Sulawesi di laman Wacana Nusantara, kerajaan yang menolak dakwah Gowa-Tallo merupakan kerajaan Bugis dan Mandar yang secara pemerintahan telah kuat.
Mereka khawatir Gowa-Tallo akan menjajah mereka. Faktor penolakan lain juga karena mereka sukar meninggalkan kegemaran makan babi, minum tuak, sabung ayam dengan berjudi, dan kebiasaan negatif lain.
Kepada yang menolak itu dikirimkan peringatan. Namun setiap kali ada pesan, setiap itu pula ditolak. Dengan alasan mereka itu mau membangkang dan melawan, maka terpaksa Gowa mengangkat senjata menundukkan mereka.
Namun, angkatan perang Gowa-Tallo yang terkenal sangat tangguh itu pun berhasil mengalahkan mereka. Satu per satu kerajaan Bugis dapat ditaklukkan. Dimulai pada 1609 M, tentara Gowa dikirim ke pedalaman untuk mengislamkan kerajaan Bugis dari yang terkecil, yakni Ajatappareng (Suppak, Sawitto, Rappang, dan Sidenreng).
Baru kemudian pada tahun yang sama, mereka bergerak ke Kerajaan Soppeng dan berhasil. Tahun berikutnya, Kerajaan Wajo pun menerima Islam, lalu pada 1611 M Kerajaan Bone memeluk Islam.
Menurut Sewang, terlepas dari motivasi Sultan Alaudin untuk berperang dengan kerajaan tetangga tersebut, perang itu sendiri justru sangatlah menguntungkan dari segi Islamisasi di Sulawesi Selatan. Hal tersebut karena raja-raja yang ditaklukkan kemudian memeluk Islam. “Raja Bone merupakan raja terakhir dari aliansi Tellunpoccoe yang menerima Islam setelah ia mengalami kekalahan dalam perang  pada 1611 M. Dengan masuknya Islam Raja Bone, sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan telah memeluk Islam, kecuali Tana Toraja,” ujarnya.
Mengutip Noorduyn, De Islamisering van Makassar, Islamisasi Sulawesi Selatan terbagi atas tiga tahap. Pertama, datangnya orang-orang Islam untuk pertama kalinya di suatu daerah.Kedua, masuknya agama Islam yang berarti penduduk setempat telah memeluk agama Islam. Ketiga, penyebaran Islam, yaitu setelah Islam mulai disebarkan ke dalam masyarakat atau disebarkan ke luar daerah di mana Islam pertama kali diterima.
E.     KONDISI SOSIAL, EKONOMI DAN POLITIK KERAJAAN GOWA TALLO
·        Kondisi sosial budaya Kerajaan Gowa Tallo
Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya.  Walaupun masyarakat Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara.
·        Kondisi ekonomi Kerajaan Gowa Tallo
Kerajaan Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor :
a.       Letak yang strategis,
b.      Memiliki pelabuhan yang baik
c.       Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.
Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.
Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.
Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA PABBALUE, sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat.
Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.
·        Kondisi politik Kerajaan Gowa Tallo
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato’ Ri Bandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam. Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Sultan Alaudin. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said (1639 – 1653).
Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat. Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.
F.     KERUNTUHAN KERAJAAN GOWA-TALLO / MAKASSAR
Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa.
Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.
Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.                                                 
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
a.       VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b.      Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
c.       Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
d.      Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda.Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.
Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah. Sebagai tanda jasa atas perjuangan Sultan Hasanuddin, Pemerintah Republik Indonesia atas SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 10 November 1973 menganugerahi beliau sebagai Pahlawan Nasional.
Demikian Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa pertama, Tumanurung (abad 13) hingga mencapai puncak keemasannya pada abad XVIII kemudian sampai mengalami transisi setelah bertahun-tahun berjuang menghadapi penjajahan. Dalam pada itu, sistem pemerintahanpun mengalami transisi di masa Raja Gowa XXXVI Andi Idjo Karaeng Lalolang, setelah menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, berubah bentuk dari kerajaan menjadi daerah tingkat II Otonom. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Gowa pertama.
G.    TOKOH TERKENAL
·        Sultan Alaudin
Sultan Alauddin dengan nama asli Karaeng Ma’towaya Tumamenanga ri Agamanna. Ia merupakan Raja Gowa Tallo yang pertama kali memeluk agama islam yang memerintah dari tahun 1591 – 1638. dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) bergelar Sultan Abdullah.
·        Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 163 meninggal diMakassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belandayang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Makassar.
H.    PENINGGALAN KERAJAAN GOWA TALLO / KESULTANAN MAKASSAR
Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya.
Walaupun masyarakat Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut Besok hari apa? . Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.
Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.
Sampai sekarang kapal pinisi dari Sulawesi Selatan masih menjadi salah satu kebanggan bangsa Indonesia. Disamping itu, masyarakat kerajaan Makassar juga mengembangkan seni sastra, yaitu kitab Lontara.
Mereka juga mengembangkan kebudayaan lainnya, seperti seni bangunan dan seni suara. Namun, sayang karya itu tidak banyak diketahui karena kurangnya peninggalan yang sampai kepada kita.
Fort Rotterdam Peninggalan Belanda di Makassar

Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang
Kapal Pinisi, Transportasi Laut Unggulan Kesultanan Makassar

Kapal Pinisi                        

 
Masjid Katangka, Tonggak perjuangan Islam Kesultanan Makassar
Masjid Katangka
Mesjid Katangka ini didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh Sultan Mahmud  (1818), Kadi Ibrahim (1921), Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948), dan Andi Baso, Pabbicarabutta Gowa (1962) sangat sulit mengidentifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Makam Sultan-sultan Makassar
Makam Para Sultan Makassar
 
Makassar Tahun 1750
 
Pelabuhan Makassar


KESIMPULAN
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Sejak Gowa Tallo sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan dengan Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik. Raja Ternate yakni Baabullah mengajak raja Gowa Tallo untuk masuk Islam, tapi gagal. Baru pada masa Raja Datu Ri Bandang datang ke Kerajaan Gowa Tallo agama Islam mulai masuk ke kerajaan ini.
Setahun kemudian hampir seluruh penduduk Gowa Tallo memeluk Islam. Mubaligh yang berjasa menyebarkan Islam adalah Abdul Qodir Khotib Tunggal yang berasal dari Minangkabau. Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur.
Demikian Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa pertama, Tumanurung (abad 13) hingga mencapai puncak keemasannya pada abad XVIII kemudian sampai mengalami transisi setelah bertahun-tahun berjuang menghadapi penjajahan. Dalam pada itu, sistem pemerintahanpun mengalami transisi di masa Raja Gowa XXXVI Andi Idjo Karaeng Lalolang, setelah menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, berubah bentuk dari kerajaan menjadi daerah tingkat II Otonom. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Gowa pertama.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages