Sebagai salah satu kota tertua di Kalimantan Tengah. Pada awal terbentuknya Kabupaten Kapuas, merupakan salah satu eks daerah dayak besar dan swapraja kota Waringin yang termasuk dalam wilayah karesidenan Kalimantan Selatan, dengan penduduk asli Suku Dayak Ngaju, yang terdiri dari dua sub suku yaitu Suku Kapuas Kahayan dan Suku Ot Danum (oldaman) yang bermukim disebelah kanan kiri sungai Kahayan, serta Suku Kapuas Kahayan bermukin disamping kanan kiri Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan antara hilir sampai tengah, sedangkan ot danum (oldaman) bagian hulu dari kedua sungai tersebut.
Penyebaran
pemukiman di sepanjang tepi Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan tersebut tidak
diketahui secara pasti kapan mulainya, karena tidak ada peninggalan baik berupa
tulisan maupun barang jadi (artfakta) yang dapat dijadikan dasar,
sehingga sekitar abad 14 dalam naskah Nagarakertagama yang ditulis oleh
Pujangga Prapanca dari Majapahit dari tahun 1365 Masehi, menyebutkan
adanya pemukiman tersebut, kemudian dalam Naskah Hikayat Banjar, berita
Tionghoa pada masa dinasti Ming tahun 1368 - 1644 Masehi dan Piagam-piagam
perjanjian antara sultan Banjarmasin dengan pemerintah Belanda pada abad 19
yang memuat berita adanya pemukiman di sepanjang Sungai Kapuas dan Sungai
Kahayan yang disebut pemukiman Lewu Juking, yang pada saat ini dikenal dengan
Ujung Murung.
Lewu
Juking/ Ujung Murung merupakan sebuah pemukiman rumah panjang yang terletak di
dekat muara Sungai Kapuas Murung, atau tepatnya bagian barat daerah Pulau Petak
yang bermuara di Laut Jawa, sekitar 10 kilometer dari arah pesisir laut Jawa,
dan daerah pemukiman ini cukup banyak bersama dengan pemukiman lainnya, yang
tersebar sampai ke arah Muara Terusan, dengan jumlah penduduk sekitar 1000 kepala
Keluarga, Pemukiman Lewu Juking/ Ujung murung dan pemukiman disekitarnya pada
masa itu di pimpin oleh seorang Kepala Suku bernama Raden Labih.
Akibat
merasa kurang amannya kehidupan penduduk Lewu Juking dan masyarakat
disekitarnya dari bajak laut, maka pada tahun 1800 banyak penduduk pindah
tempat tinggal, sehingga dari perpindahan tersebut disepanjang Sungai Kapuas
dan Sungai Kapuas Murung, pemukiman Palangkai diseberang Sungai Tatas,
pemukiman Sungai Handiwung, pemukiman Sungai Apui, Pemukiman Pulau Telo,
pemukiman Sungai Bapalas, pemukiman Sungai Kanamit dan pemukiman Betang di Sei
Pasah sekaligus merupakan satu-satunya bukti sejarah di kota Kuala Kapuas yang
masih ada, dalam perkembangan selanjutnya dijadikan sebagai tonggak sejarah
berdirinya kota Kuala Kapuas pada tahun 1806.
Pada
bulan Oktober tahun 1892 tepatnya 20 tahun setelah pemukiman Betang Sei Pasah
dibangun, orang Belanda yang pertama kali datang menginjak kakinya di bumi
Kapuas menurut catatan sejarah Zacharis Hartman. Dalam perjalanan kerja pada
masa itu menggunakan trasportasi perahu dayung untuk menjelajahi Sungai Kapuas
Murung dan Sungai Kapuas sampai ke Jangkang.
Dalam
perkembangan sejarah berikutnya hubungan Orang Kapuas dengan Orang Belanda
identik dengan hubungan peperangan, dan menyikapi kondisi tersebut, dalam
rangka mengawasi lalu lintas perairan di kawasan Kapuas, pada bulan Februari
tahun 1860 pihak Belanda membangun benteng di Ujung murung (sekitar rumah
jabatan Bupati saat ini), dan tempat tersebut dinamakan Kuala Kapuas. Nama
Kuala Kapuas di ambil dari bahasa dayak ngaju yaitu bahasa yang digunakan
penduduk setempat, yang menyebut daerah tersebut Tumbang Kapuas. Pada daerah ini Belanda
Mengangkat seorang pejabat dalam pangkat Pemangku Kuasa yang bernama Brosers
merangkap sebagai komandan benteng,. Disamping pejabat Pemangku Kuasa,
Tamanggung Nicodemus Ambu atau Tamanggung Nikodemus Jatanegara di tunjuk
sebagai kepala distrik, dan pada bulan Maret 1863 Tamanggung Nikodemus
Jayanegara membangun betang di Hampatung.
Dalam rrangka memantapkan kekuasaan Belanda di wilayah
Kalimantan, daerah Kapuas dimekarkan membentuk Onderdistri Baru, yaitu
Onderdistri Kapuas Hilir Ibukota Kuala Kapuas, Onderdistri Kapuas Barat
beribukota Mandomai, Onderdistri Kapuas Tengah beribukota Pujon, Onderdistri
Kahayan Tengah beribukota Pahandut, Onderdistri Kahayan Hilir beribukota Pulang
Pisau dan Onderdistri Kahayan Hulu dengan ibukota tewah.
Pada tanggal 27 Maret 1946 di Banjarmasin dibentuk dewan
daerah dayak besar yang pertama, yaitu suatu badan pemerintah daerah yang
meliputi apdeling Kapuas-Barito dan di pilih sebagai ketua adalah Grineveld
(eks asisten residen), Wakil Ketua Raden Cyrillus Kesranegara dan Sekretaris
adalah Mahir Mahar.
Pada tahun 1948 diadakan pemilihan anggota dewan dayak
besar dalam sistem bertingkat yaitu setiap 100 orang pemilih menunjuk seorang
kepala pemilih, yang secara langsung memberikan suaranya terhadap calon yang
diajukan, dan yang terpilih sebagai ketua Haji Alwi, wakil Ketua Helmut Konom,
Sekretaris Roosenshooen, Anggota badan pengurus harian Markasi dari Sampit,
Barthhleman dari Barito, Adenan Maratif dan E.D Tandan dari Kapuas.
Pada bulan januari 1950 dewan daerah dayak besar resmi
bergabung dalam wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi daerah bagian
dari Republik Indonesia Serikat, tetapi situasi saat itu rakyat menghendaki
suatu negara kesatuan, bukan Negara Federasi hasil kompromi pihak Belanda,
menyikapi hal tersebut maka pada tanggal 14 April 1950 atas dasar tuntutan
rakyat tersebut dan untuk memenuhi aspirasi rakyat, maka pihak dewan dayak
besar menentukan sikap peleburan diri secara resmi kedalam Negara Republik
Indonesia. Sebagai mana diatur dalam surat keputusan menteri dalam negeri nomor
: C.17/15/3 tanggal 29 Juni 1950 tentang penetapan daerah-daerah di Kalimantan
yang sudah tergabung dalam Republik Indonesia dengan adminidtrasi Pemerintah
terdiri dari 6 daerah kabupaten yaitu banjarmasin, Hulu Sungai, Kota Baru,
Kapuas dan Kota Waringin serta 3 daerah Swapraja yaitu Kutai, Berau dan
Bulungan.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, pada akhir tahun
1950 Kepala Kantor Persiapan Kabupaten Kapuas Wedana F. Dehen memasuki masa
pensiun dan selanjutnya diserahkan kepada Mrakasi yaitu mantan anggota dewan
daerah Dayak besar pada saat itu. Selanjutnya pada bulan Januari 1951 Markasi
diganti oleh Patih Barnstein Baboe sebagai Bupati sementara saat itu,dan pada
masa inilah Kabupaten Kapuas di resmikan tepatnya pada hari Rabu tanggal 21
Maret 1951 oleh Menteri Dalam Negeri dan sekaligus melantik para anggota Dewan
Rakyat daerah sementara yang terdiri dari wakil partai politik dan organisasi
non-politik dari Masyumi, Parkindo, PNI, Muhammadiyah dan lainnya.
Pada awal Mei 1951 Raden Darussapati diangkat selaku
Bupati Kepala Daerah Kabupaten Kapuas yang pertama, dan dilantik pada tanggal 9
mei 1951 oleh Gubernur Murjani atas nama Menteri Dalam Negeri. Sehingga oleh
masyarakat Kabupaten Kapuas setiap tanggal 21 Maret dinyatakan sebagai hari
jadi Kabupaten Kapuas yang bertepatan dengan peresmian Pemerintah Kabupaten Kapuas.
Berkat usaha dan perjuangan rakyat Kuala Kapuas
bersama-sama dengan rakyat daerah lainnya pada saat itu, maka lahirlah
Undang-undang No. 27 tahun 1959 tentang pembentukan daerah tingkat II
Kalimantan Tengah dan Undang-undang Nomor 5 tahun 2002 tentang pembentukan
Kabupaten Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau,
Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya dan
Kabupaten Barito Timur.
Sesuai dengan perkembangan Kabupaten Kapuas dimekarkan
menjadi tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Kapuas sebagai Kabupaten induk dengan
Ibukota Kuala Kapuas, Kabupaten Pulang Pisang Pisau dengan Ibukota Pulang Pisau
dan Kabupaten Gunung Mas Ibukota Kurun.
Kota Kuala Kapuas berdiri sejak tahun 1806 , namun
Pemerintahan Kabupaten Kapuas berdiri sejak tahun 1951. Kemudian sejak tahun
2002 Kabupaten Kapuas mengalami pemekaran menjadi 3 (tiga) kabupaten yakni
Kabupaten Kapuas , Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Gunung Mas (saat ini
masuk wilayah hukum PN. Palangkaraya)
Batas-batas
Wilayah :
1.
o
Disebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Gunung Mas.
o
Disebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan propinsi Kalimantan
Selatan.
o
Disebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Barito Utara dan Barito
Selatan.
o
Disebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pulang Pisau, Kota Madya
Palangka dan Kabupaten Kota Waringin Timur.
Pembagian Wilayah :
Daerah Kabupaten Kapuas terdiri 12 Kecamatan dan terdiri
dari desa (kampung) dengan pembagian sebagai berikut :
Kecamatan Selat dengan ibu kotanya :
- Kuala Kapuas terdiri dari 12 buah desa.
- Kecamatan Kapuas Hilir dengan ibu kotanya : Barimba terdiri dari 6 buah desa.
- Kecamatan Kapuas Timur dengan ibu kotanya : Anjir Serapat terdiri dari 6 buah desa.
- Kecamatan Kapuas Kuala dengan ibu kotanya : Lupak terdiri dari 6 buah desa.
- Kecamatan Pulau Petak dengan ibu kotanya : Sei Tatas terdiri dari 8 buah desa.
- Kecamatan Kapuas Murung dengan ibu kotanya : Palingkau terdiri dari 10 buah desa.
- Kecamatan Basarang dengan ibu kotanya : Basarang terdiri dari 13 buah desa.
- Kecamatan Kapuas Barat dengan ibu kotanya : Mandomai terdiri dari 9 buah desa.
- Kecamatan Mantangai dengan ibu kotanya : Mantangai terdiri dari 9 buah desa.
- Kecamatan Kapuas Tengah dengan ibu kotanya : Pujon terdiri dari 18 buah desa.
- Kecamatan Timpah dengan ibu kotanya : Timpah terdiri dari 9 buah desa.
- Kecamatan Kapuas Hulu dengan ibu kotanya : Sei Hanyo.
Daerah
Kabupaten Pulang Pisau merupakan Kabupaten pemekaran dan Kabupaten Induk yaitu
Kabupaten Kapuas. Terdiri dari 8 Kecamatan dengan pembagian sebagai berikut :
1. Kecamatan Kahayan Hilir dengan
ibu kotanya : Pulang Pisau.
2. Kecamatan Pandih Batu dengan
ibu kotanya : Pangkoh.
3.
Kecamatan Kahayan Kuala
dengan ibu kotanya : Bahaur.
4. Kecamatan Jabiren dengan ibu
kotanya : Jabiren.
5.
Kecamatan Maliku dengan ibu
kotanya : Maliku.
6.
Kecamatan Kahayan Tengah
dengan ibu kotanya : Bukit Rawi.
7. Kecamatan Banama Tingang
dengan ibu kotanya : Bawan.
8. Kecamatan Sebangau dengan ibu
kotanya : Sebangau.
PROFIL KABUPATEN KAPUAS
DALAM SEJARAH DAN BUDAYA LOKAL SUKU DAYAK.
Kota ini dibangun jauh sebelum
adanya Ibukota Kalimantan Tengah Palangka Raya, Kabupaten Kapuas adalah salah
satu dari Kabupaten otonom eks Daerah Dayak Besar dan Swapraja Kotawaringin
yang termasuk dalam wilayah Keresidenan Kalimantan Selatan. Suku Dayak Ngaju
merupakan penduduk asli Kabupaten Kapuas. Suku ini terdiri dari 2 (dua) sub
suku yaitu Suku Olah Kapuas-Kahayan dan Olah Otdaman, bermukim disebelah kanan
kiri sungai Kapuas dan Sungai Kahayan. Olah Kapuas-Kahayan bermukim disamping
kanan kiri Sungai Kapuas dan Sungai
Kahayan antara Hilir sampai tengah sungai, sedangkan Olah Otdaman bagian hulu
dari kedua sungai tersebut.
Kabupaten Kapuas dengan Ibukota
Kuala Kapuas adalah Daerah otonom sebagaimana dimaksud dalam UU nomor 27/1959
tentang pembentukan Daerah Tingkat II Kalimantan Tengah. Berdasarkan
Undang-Undang nomor 5 tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Katingan,
Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau, Kabupaten Gunung Mas,
Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya dan Kabupaten Barito Timur,
Kabupaten Kapuas dimekarkan menjadi 3 (tiga) Kabupaten yaitu Kabupaten Kapuas
dengan ibukota Kuala Kapuas sebagai Kabupaten induk terdiri dari 12 kecamatan,
Kabupaten Pulang Pisau dengan Ibukota Pulang Pisau terdiri atas 6 Kecamatan dan
Kabupaten Gunung Mas dengan Ibukota Kuala Kurun dengan 6 Kecamatan. Setelah
adanya perubahan ini luas wilayah Kabupaten Kapuas adalah 14.999 km2.
Sejarah Penduduk dan Kebudayaan.
1.
Sejarah :
Kapuas mengenal jaman prahistori, yang
terbukti dari banyaknya terdapat benda-benda kuno dan peninggalan nasional
seperti
-
belanga
-
lalang
- halamaung
-
piring malawen
2.
Perkembangan Sejarah
Sebelum
abad ke XIV daerah Kapuas belum mengenal
pendatang atau penjajahan atas wilayah tersebut. Alat lulu lintas untuk
menghubungkan daerah-daerah atau tempat-tempat lainnya adalah perahu berlayar.
Dalam tahun 1350 Kerajaan Hindu memasuki daerah Kotawaringin, tapi pada tahun
1365 dapat disingkirkan oleh kerajaan Majapahit dan mengangkat wakil-wakil
kerajaan disana atau Kepala-kepala suku sebagai Menteri Kerajaan tersebut.
Agama Islam mulai berkembang mulai tahun 1620 di Kotawaringin pada waktu pantai
Kalimantan bagian Selatan dikuasai oleh
Kerajaan Demak
Dalam
tahun 1679 kerajaan Banjar mendirikan Kerajaan Kotawaringin yang meliputi
daerah pantai Kalimantan tengah yaitu Sampit, Mendawai dan Pembuang dan daerah
lainnya tetap bebas dibawah pimpinan kepala-kepala suku dan ada yang menarik
diri ke pedalaman. Perang di Pematang Sawang Pulau Kupang / Kota Bataguh dekat
dengan Kuala Kapuas semasa dalam pemerintahan Puteri Udang (wanita) dengan
pahlawan-pahlawan / panglima-panglima antara lain bernama Tambun Bungai, Andin
Sindai, Tawala Rawa Raca , dll ( nama Pahlawan Tambun Bungai menjadi lambang
Kodam XI Tambun Bungai).
Dengan suatu perjanjian antara VOC dan Sultan Banjar
pada tahun 1787, hamper seluruh wilayah Kalimantan Tengah dikuasai oleh VOC.
Dalam tahun 1917 Pemerintah penjajah mulai mengangkat petugas-petugas
Pemerintahnya dari penduduk daerah dibawah pengawasan pejabat-pejabat penjajah
sendiri.
Sejak
abad ke XIX petugas-petugas penjajahan mulai mengadakan expedisi kedaerah
pedalaman untuk memperkuat kedudukan mereka. Tetapi penduduk selalu memberikan
perlawanan hingga abad ke XX. Perlawanan rakyat secara frontal berakhir pada
tahun 1905, setelah terbunuhnya Sultan Muhammad Seman di Sei Menawing (sekarang
Kabupaten Murung Raya) dan dimakamkan di Puruk Cahu.
Agama
Kristen Protestan mulai memasuki daerah ini pada tahun 1835 yang menuju
pedalaman. Hingga saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 penjajah Belanda
tak dapat menguasai seluruh wilayah dan pelosok daerah karena banyak
putera-putera daerah yang menerjunkan diri dalam pergerakan-pergerakan Nasional
dengan semangat yang meluap-luap didaerah ini.
Pertempuran terakhir Pemerintah Belanda dengan suku Daya
Punan yaitu Oot Marikit pada bulan Agustus tahun 1935 dengan perdamaian di Kota
Sampit, antara Ot Marikit dengan menantunya Panganen (Panganon) kepada
Pemerintah Belanda.
Orang
Dayak di Kapuas seperti orang Ngaju, Ot-Danum sudah lama berhubungan dengan
orang luar seperti Melayu, Jawa, Bugis, Cina, Arab dan Eropah. Walaupun
demikian sebelumnya berkembang system pendidikan sekolah, penduduk Kapuas masih berkembang dalam alam lingkungannya sendiri
terutama dimasa penjajahan Belanda dan Jepang.
Beberapa
pemuda Dayak Kapuas yang telah mendapat pendidikan modern dengan penuh
edialisme berusaha untuk memajukan suku bangsanya antara lain mendirikan
organisasi seperti “ Serikat Dayak “ dalam tahun 1919 dan “ Koperasi Dayak “.
Dalam tahun 1928 kedua organisasi tadi diteruskan menjadi “Pakat Dayak” yang
bergerak dalam lapangan social, ekonomi dan juga politik dalam pimpinan
tokoh-tokoh dayak antara lain : Hausman Babu, Anton Samat, Loei Kamis dan
diteruskan oleh tokoh Mahir Mahar, C. Luran, H.Nyangkal, Oto Ibrahim, Philips
Sinar, E.S. Handuran, Amir Hassan, Christian Nyunting, Cilik Riwut,dll.
Setelah
kemerdekaan, orang dayak berhasrat agar Kalimantan Tengah menjadi Propinsi
sendiri lepas dari Kalimantan Selatan. Hasrat itu diperjuangkan oleh organisasi
“Penyalur Hasrat Rakyat Kalimantan tengah” ketuanya Bapa Moris Ismail atau
terkenal dipanggil Bapa Hawon dan perjuangan mereka berhasil dengan
terbentuknya Propinsi Kalimantan tengah pada tanggal 23 Mei 1957.
Pembentukan
Propinsi Kalimantan tengah tidak berjalan lancer dan mula-mula hasrat orang
dayak di Kalimantan Tengah kurang dihiraukan oleh Pemerintah Pusat. Demikian
mereka terpaksa mempergunakan kekerasan juga untuk mendesak kemauan mereka.
Perkumpulan rahasia bernama “Gerakan Mandau Telawang Pancasila” (GMTPS) yang
bersifat amat militant pernah melaksanakan suatu serangan bersenjata terhadap
beberapa pos pemerintahan antara lain di Buntok, Pahandut, Kuala Kuayan dan
Kuala Kapuas dalam Pimpinan Ch.Simbar (Uria
Mapas), W.Embang, Sahari Andung, Hartman Assan, F.J Tuweh, Muller Antang,dll.
Antara lain tokoh PNI di Kalimantan Tengah yaitu Bapa Brono Sandan yang
terkenal dengan Bapa Popo.
Sejak
itu orang Kalimantan Tengah mulai membangun daerahnya yang sebagian besar masih
berupa hutan rimba. Didekat desa Pahandut ditepi sungai Kahayan dijadikan
tempat untuk membangun Ibukota Palangka Raya. Dibangun suatu jalan sepanjang 40
km yang menghubungkan Palangka Raya dengan Tengkiling, sedangkan pembangunan
prasarana lain berupa pembuatan lapangan-lapangan terbang di Palangka Raya dan
Pangkalan Bun, serta pembuatan tempat-tempat pendaratan diair dan tempat-tempat
berlabuh untuk pesawat terbang seperti Catalina,dll misalnya di Sampit, Muara
Teweh, Kasongan, Kuala Kapuas dan Kuala Kurun. Juga mulai digali terusan-terusan
yang menghubungan satu sungai besar dengan lainnya seperti terusan Basarang
diberi nama Terusan Milono mengambil nama Gubernur Kalimantan yang ketiga.
Kecuali irigasi yang akan mengairi sawah-sawah bagi transmigran-transmigran
dari Jawa dan Bali yang akan dating didaerah
itu.
Kekayaan
Kalimantan tengah tidak terutama terletak pada tanah yang subur dan tanah yang
cocok untuk mengembangkan pertanian yang berarti, tetapi kekayaan Kalimantan terletak dalam kekayaan isi buminya yang
mengandung minyak bumi, emas, batu bara, tembaga, kecubung dan intan. Sedang
hutan rimbanya juga mengandung kekayaan-kekayaan yang dapat dieksploitasi yang
menghasilkan kayu Meranti, Agathis, Ramin , dll yang diekspor keluar negeri.
Sayang
bahwa usaha-usaha pembangunan tidak selalu berjalan lancer. Hal ini
rupa-rupanya tidak terletak kepada sifat kurang kemampuan dan sikap mental dari
orang dayak tetapi merupakan suatu akibat dari kemacetan menyeluruh yang
dialami oleh Negara kita pada tahun-tahun terakhir ini.
Kalimantan
Tengah adalah salah satu dari Propinsi-Propinsi Republik Indonesi yang terletak
di Pulau Kalimantan Indonesia
yaitu Propinsi ke 17. Penduduknya berdiam di Desa-desa sepanjang sungai besar
dan kecil. Pulau Kalimantan adalah pulau terbesar ketiga setelah Pulau Tanah
Hijau (Green Land) dan Pulau Irian. Sebagai akibat
kolonialisme Barat, Pulau ini kini terpecah menjadi 3 wilayah dari 3 negara
yaitu bekas jajahan Inggris di Utara menjadi wilayah Negara Malaysia dan
Kesultanan Brunai, sedangkan bekas jajahan Belanda di Selatan menjadi wilayah
Republik Indonesia dan terbagi menjadi 4 Propinsi yaitu Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.
Penduduk
Kapuas selain orang dayak yang merupakan penduduk asli daerah itu adapula
keturunan orang-orang pendatang. Mereka ini dalah orang-orang banjar, Bugis,
Madura, Makasar, Melayu, Jawa, Cina, Arab, dll.
Yang
menjadi pokok pembicaraan dalam tulisan ini adalah penduduk “asli” yang terdiri
dari orang dayak. Dari demikian banyak orang dayak di Kapuas
akan dijelaskan kebudayaan dari 3 (tiga)
suku bangsa saja yaitu Ngaju , Ot-Danum dan Ma’anyan..
Tempat
tinggal suku dayak Ngaju adalah sepanjang sungai-sungai besar di Kalimantan Tengah seperti Kapuas, Kahayan, Rungan, Manuhing, Barito dan Katingan. Sedangkan
tempat kediaman orang Ot-Danum adalah selain sepanjang hulu sungai-sungai besar
seperti Kahayan, Rungan, Barito dan Kapuas juga di hulu sungai-sungai dari
Kalimantan Barat seperti sungai Melawi (anak sungai Kapuas besar pedalaman
Kalimantan Barat) dan Hulu sungai-sungai Mahakam sekitar Long Pahangei
kepedalamannya.
Suku-suku
Dayak Ngaju dan Ot-Danum yang ditulis ini hanyalah mereka yang berdiam di
Sungai-sungai Kapuas dan Kahayan. Secara
administrative kenegaraan, kediaman mereka ini termasuk bagian dari Kabupaten
Kapuas. Didaerah aliran sungai Kahayan suku Dayak Ngaju berdiam disebelah
hilir, sedangkan Ot-Danum disebelah hulu. Batas kediaman orang Ngaju dihulu
Kahayan hanya sampai di Tumbang Miri saja sebagai desanya yang terakhir,
sedangkan dihilir terus turun sampai dimuara sungai Kahayan. Letak kediaman
orang Ot-Danum adalah di Hulu Kahayan yaitu di daerah Utara Tumbang Miri dan di
hulu sungai Katingan, Hulu sungai Samba, hulu sungai Kapuas dan sebagian hulu
sungai Seruyan( Pembuang) di Sungai Kale (desa Tumbang Sabetung).
Jika
desa-desa Ot-Danum pada umumnya merupakan daerah tersendiri/khas dari orang
Ot-Danum, maka suku dayak ma’anyan tersebar diberbagai bagian dari Kabupaten
Barito Selatan yaitu ditepi Timur Sungai Barito terutama diantara anak-anak
sungai seperti Patai, telang, Karau dan Ayuh.
Di
timur suku Ma’anyan bersentuhan dengan suku banjar dari daerah hulu sungai dari
Propinsi Kalimantan Selatan, dibarat berbatasan
dengan suku-suku dayak bakumpai dan orang banjar dari daerah hulu sungai
Barito, di Selatan dibatasi tanah paya-paya di selatan sungai Patai, dan di
utara sampai ke sungai Ayu disebelah Utara Buntok (Ibukota Kabupaten Barito
Selatan).
Didaerah
aliran sungai-sungai Karau dan Ayu orang Ma’anyan banyak bercampur dengan suku dayak
lain yaitu suku bangsa Lawangan yang memang sudah mendiami wilayah itu sebelum
orang Ma’anyan memasukinya.
Mengenai
hubungan ketiga suku bangsa tersebut adalah sarjana seperti Mallinckrodt yang
menganggapnya berasal dari satu “stramras” yaitu stamras der Ot-Danum. Mengenai
hal ini perlu diadakan penelitian lebih lanjut yang mendalam. Menurut
penyelidikan memang orang Ngaju berasal dari Ot-Danum juga tetapi kemudian
mereka berdiam di daerah hilir, lambat laun mereka telah mengalami perubahan
kebudayaan sebagai akibat akulturasi dengan kebudayaan orang-orang dayak di
seluruh Kalimantan, terutama yang hidup dipedalaman, sesungguhnya mempunyai
satu corak kebudayaan, kesatuan mereka ini adalah berdasarkan persamaan dalam
beberapa unsure kebudayaan yaitu misalnya mata pencarian hidup yang berdasarkan
peladangan prinsip keturunan yang berdasrakan system ambilinaal, peralatan
perang seperti parang (Mandau) dan sumpitan (sipet), upacara kematian yang
bersufat potlatch dan agama aslinya yang berdasarkan pemujaan. Roh leluhur
tercampur dengan unsure-unsur animisme dan dinamisme yang pada akhir-akhir ini
terkenal dengan nama agama Kaharingan.
Bahasa
yang dipergunakan oleh suku-suku bangsa Ngaju, Ot-Danum dan Ma’anyan adalah bahasa yang oleh Hudson disebut keluarga
bahasa. Menurut Mallinckrodt, orang Bakumpai asalnya dalah orang Ngaju tetapi
sudah lama masuk Islam. Suku bangsa Bakumpai banyak mendiami sepanjang sungai
Barito (Kalimantan tengah) di Tumbang Samba
sungai Katingan, disepanjang sungai Mahakam bagian Tengah, antara lain Long
Iram,dll.
Dusun
Barito, keluarga bahasa ini dipergunakan di Kalimantan Tengah dan sebagian di
Kalimantan Selatan yaitu disuatu wilayah yang dibagian barat dibatasi oleh
sungai-sungai Sampit (Mentaya). Diutara oleh pegunungan Schwaner dan Muler,
sungai-sungai Busang, Murung dan Mahakam, dibagian selatan dan timur (tanpa
menghiraukan bahasa-bahasa melayu dan bugis yang juga berada disitu) dibatasi
oleh laut Jawa dan Selat Makasar.
Daerah
keluarga Barito tersebut menurut Kenedy didiami oleh suku bangsa Ngaju,
sedangkan menurut Mallinckrodt oleh suku bangsa Ot-Danum. Menurut klasifikasi Hudson, bahasa Ngaju
termasuk dalam isolek Barito Barat Laut dan bahasa Ma’anyan dalam isolek Barito
Tenggara. Diantara ketiga bahasa tersebut Ngaju telah lama menjadi Lingua
Franca orang dayak di Kalimantan Tengah. Walaupun akhir-akhir ini ada
kecenderungan bahwa bahasa Indonesia akan menggantikannya. Peranan bahasa Ngaju
menjadi penting Kalimantan Tengah, berkat usaha para zending-zending yang telah
memilih bahasa itu dalam penyebaran agama nasrani dan dalam penerjemahan kitab
injil kedalam bahasa pribumi yaitu bahasa dayak Ngaju.
Dari
ketiga suku bangsa yang paling maju masa ini di Kalimantan Tengah adalah suku bangsa Ngaju, suku bangsa
Ma’anyan, suku Ot-Danum, suku katingan, suku siang, suku Mendawai (Pangkalan
Bun) suku bakumpai,dll karena dari Kalimantanlah kini ada banyak orang
terpelajar dan orang yang memegang tampuk pimpinan pemerintahan di Kalimantan
Tengah.
PENJELASAN MENGENAI
PEMBAGIAN SUKU DAYAK.
A.
Pengertian Dayak
Sebutan katak “Dayak” adalah
sebutan yang umum di Kalimantan, bahkan diseluruh Indonesia
yang setiap orang mendengar kata “Dayak” sudah tentu tertuju pandangannya
kepada salah satu dari suku-suku di Indonesia yang mendiami pulau di Kalimantan.
Arti kata Dayak adalah satu
perkataan untuk menanamkan stam-stam yang tidak beragama Islam yang mendiami
pedalaman Kalimantan dan istilah ini diberikan oleh bangsa melayu dipesisir Kalimantan yang berarti orang gunung. Bangsa melayu yang
mendiami pesisir Kalimantan yang memberikan istilah dayak kepada stam-stam yang
tidak beragama islam yang mendiami pedalaman Kalimantan
berarti orang gunung, maka timbullah suatu pertanyaan apakah sebenarnya orang
melayu itu ? Bilamana dilihat dari segi dayak sendiri yang dikatakan orang
melayu yaitu orang-orang dari daerah melayu dan orang-orang pendatang lain dari
luar selain Tionghoa yang tinggal di Kalimantan.
Dengan demikian orang pendatanglah yang memberi istilah dayak itu, mungkin
orang-orang pendatang dari daerah melayu dan pendatang lainnya misalnya
orang-orang jawa, Madura, Bugis, dll yang bertempat tinggal dipesisir Kalimantan. Arti kata dayak sebenarnya tidak menunjukan
kepada “orang gunung” kemungkinan pengertian kata dayak sama dengan orang
gunung karena disebabkan sebagian besar orang-orang dayak tinggal diudik-udik
sungai yang tanahnya bergunung-gunung tetapi bukanlah berti kata dayak bereti
orang gunung.
Disamping nama Dayak kita
kenal juga istilah Dyak yang berarti Dayak yang menunjukan pula pada pengertian
Dayak. Istilah Dyak ini diberikan oleh orang-orang Inggris kepada suku-suku
Dayak di Kalimantan Utara. Karena suku Dayak tersebar di Kalimantan dan
terpencar-pencar dimana-mana dihulu-hulu sungai, dilembah, digunung, dikaki
bukit, dll tetapi hanya sedikit yang diketahui, panggilan untuk orang-orang
dayak misalnya mereka berasal dari
sungai Barito disebut “oloh Barito” berasal dari Katingan “oloh Katingan”
berasal dari Sungai Kahayan “oloh Kahayan” dan berasal dari sungai Kapuas
disebut “oloh Kapuas”
Dikalangan orang-orang dayak
sendiri ada yang keberatan memakai nama dayak dan dikenal pula istilah lain
“Daya” yang nama ini lebih popular di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.
Selain istilah Daya kata Daya Sahawung diabadikan kepada suatu komplek pelajar
di Kuala Kapuas yang namanya “Komplek Pelajar
Sahawung” serta kita kenal pula suatu organisasi orang-orang dayak dengan nama
Partai Daya.
Kata
Daya dalam bahasa Ngaju menunjukan kata sifat yang menunjukan pula suatu
kekuatan. Demikian pula kata Sahawung yang berarti sifat kepahlawanan seseorang
yang gagah perkasa tidak kenal menyerah (Sahawung juga disebut Tahawung TR)
Kalau kita hubungkan
sifat-sifat orang dayak pada jaman dahulu yang terkenal dalam semboyan dalam
bahasa Dayak mengatakan “Menteng Ureh Mamut” yang berarti seseorang mempunyai
kekuatan gagah berani dan tidak kenal menyerah.
Bilamana dilihat diatas nama
Daya, Sahawung selalu condong kepada kata sifat. Kata Dayak tidak dikenal dalam
kamus pemberi nama kata dayak sendiri yang menunjukan arti orang gunung ataupun
orang bukit maupun orang udik.
B.
Asal Usul Suku Dayak.
Mengenai asal suku Dayak masih
kita lihat perbedaan-perbedaan pendapat, ada yang mengatakan suku dayak berasal
dari langit yang ketujuh atau penduduk asli pulau Kalimantan
dan suku dayak beasal dari Proto Melayu.
Penyelidikan mengenai suku
Dayak ini sangat mengalami kesulitan karena orang-orang dayak tidak mempunyai
tulisan dan juga tidak meninggalkan bekas-bekas yang berguna untuk penyelidikan
generasi muda tentang suku ini sendiri. Paling-paling hanyalah pembicaraan dari
mulut ke mulut, dari orang tua kepada nak cucunya (tetek tatum).
Menurut
kepercayaan orang tua-tua.
Menurut kepercayaan orang
dayak yang berasal dari kepercayaan Kaharingan mengatakan bahwa suku dayak ini
berasal dari langit ketujuh. Dari langit ketujuh inilah datuk-datuk orang dayak
itu diturunkan dengan Palangka Bulau oleh Ranying atau disebut juga Hatalla
atau dalam bahasa Indonesia terkenal dengan nama Allah atau Tuhan, di 4 (empat)
buah tempat sebagai berikut :
-
Di Tantan Puruk Pamatuan yang terletak di Hulu Sungai
Kahayan dan Barito
-
Di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting yang terletak
disekitar gung raya
-
Di Datah Tangkasiang, dihulu sungai Malahui yang
terletak di daerah Kalimantan Barat
-
Di Puruk Kambang Tanah Siang yang terletak di hulu
Barito.
Orang-orang
dayak yang diturunkan ditempat-tempat ini kawin mengawin satu sama lainnya deng
berkembang biak menempati diseluruh pulau Kalimantan.
Hasil perkembangbiakan karena kawin mengawin ini menurunkan orang dayak
sekarang ini.
Hal yang demikian ini suatu
keyakinan dari beberapa orang dayak bahkan mungkin seluruhnya yang meyakinkan
bahwa orang dayak atau nenek moyang mereka itu diturunkan dari langit yang
ketujuh.
Menurut
sejarah.
Kurang lebih 200 tahun sebelum
Kristus terjadilah perpindahan bangsa melayu yang pertama ke Indonesia dari daerah Yunan, yang
datangnya secara bergelombang. Mereka mulai mendiami bagian pantai. Tetapi
karena dating melayu muda, bangsa melayu tua (proto melayu) terdesak kepedalaman,
mungkin disebabkan kalah perang atau karena keadaan kebudayaan melayu tua lebih
rendah jika dibandingkan dengan melayu muda.
Sebelum melayu tua berpindah
ke nusantara ini, menurut penyelidikan sudah ada bangsa yang mendiami terlebih
dahulu yaitu bangsa negrito dang bangsa Wedda yang mempunyai tanda-tanda
sebagai berikut :
Bangsa
Negrito :
-
bertubuh kecil
-
Warna kulit kehitam-hitaman
-
Rambut keriting
-
Bentuk kepala bundar dan menengah. Adapun sisa bangsa
ini masih kita dapati di Malaya, orang Semang
dan orang Acta di Philipina.
Bangsa
Wedda :
-
Rambut ikal berombak
-
Kulit kurang hitam
-
Bentuk kepala menengah
-
Mata agak masuk kedalam
-
Tubuhnya lebih tinggi dari negrito.
Adapun
sisa bangsa ini masih kita dapati di Malaka orang Senoi, orang kubu di
Palembang, orang Jambi di Jambi, orang Tokea dan Toala di Sulawesi, orang
Tomuna di Pulau Tomuna bahkan mungkin
sisa-sisa suku bangsa ini terdapat di Pulau Jawa dan di Kalimantan.
Seorang ahli antropologi
Kohlbrugge membagi bangsa dayak ini atas dua bagian yaitu bangsa dayak yang
berkepala panjang (dolichocephaal) mereka berdiam sepanjang sungai Kapuas yang
bermuara sebelah barat kota Banjarmasin,
dan bangsa dayak berkepala bulat (Brachyoephaal) termasuk didalamnya bangsa
dayak Kayan nama anak sungai dari Kapuas,
Dayak daerah Kahayan dan Dayak Daerah Katingan.
Suku Dayak kehidupannya yang
masih ketinggalan kemajuannya misalnya suku Dayak Ot antara lain Ot Panyawung, Ot Siauw, Ot Mondai, Ot Pari,
Ot Saribas, Ot Olong-Olong. Kebanyakan dari mereka ini tinggal dipegunungan
hulu sungai Barito, Kapuas, Mahakam dan
pegunungan diperbatasan dengan Kalimantan Utara. Orang-orang ot ini dahulu
sangat ditakuti oleh orang-orang Inggris dan Belanda karena kecakapannya dalam
bidang menyumpit yang tidak diketahui dari mana datangnya.
Daerah
suku Dayak di Kalimantan.
Pada jaman dahulu, antara suku
kalangan bangsa dayak sendiri saling bereprang untuk mencari kepala manusia,
sehingga inilah salah satu factor yang menyebabkan suku dayak tersebar
diseluruh Kalimantan. Mereka mencari tempat-tempat
yang aman dari serangan suku lain, mengisolasikan diri dari pergaulan suku-suku
lain, sehingga karena perbedaan tempat serta factor isolasi yang berpuluh-puluh
tahun lamanya mmungkinkan perbedaan kebudayaan dari suku dayak ini.
Untuk melindungi serangan dari
luar, mereka membuat rumah besar, kuat, tinggi yang dapat memuat 100 sampai 200
orang didalamnya yang dinamakan betang atau Lamin. Tetapi walaupun demikian
setiap bathin orang dayak sendiri mereka berasal dari satu keturunan yang
diturunkan dengan Palangka Bulau dari langit yang ketujuh.
C.
Macam-macam Suku Dayak dan Daerahnya.
Suku Dayak tersebar diseluruh Kalimantan, kebanyak dari mereka bertempat tinggal bukan
didaerah-daerah pesisir tetapi di pedalaman. Mengenai macam-macam suku dayak di
Kalimantan, sampai sekarang ini masih belum
ada penyelidikan khusus mengenai ini, sehingga tidaklah ada kepastian bagaimana
pembagian suku dayak yang sebenarnya. Apabila kita melihat dari bahasa yang
dipergunakan suku-suku dayak, sungguh-sungguh banyak dan mungkin pula daerah
yang berdekatan bahasanya berbeda-beda pula. Misalnya di Daerah Kahayan dan Kapuas dari Muara sampai dengan kurang lebih 2/3 nya
sungai itu mempergunakan bahasa Ngaju, sedangkan bahagian hulunya mempergunakan
bahasa Ot Danum, dimana kedua bahasa ini banyak sekali perbedaannya.
Tiap-tiap suku dapat dibagi
atas suku-suku yang sedatuk, dan yang sedatuk dapat dibagi lagi atas suku-suku
kekeluargaan (sefamili). Jadi suku Dayak ini terbagi atas - Suku asal (rumpun)
-
Suku atau anak suku
-
Suku yang sedatuk
-
Suku yang kekeluargaan (sefamili)
Jadi
jelas beberapa keluarga merupakan suku sefamili, yang merupakan cabang dari
suku yang sedatuk ; beberapa suku yang sefamili merupakan suku sedatuk (cabang
anak). Beberapa suku atau anak suku dan beberapa anak suku merupakan rumpun
(suku asal).
Suku Dayak di Kalimantan
menurut penyelidikan terdiri dari 7 suku, dan ketujuh suku ini terdiri 18 anak
suku yang sedatuk dan 18 suku yang sedatuk ini terdiri 405 suku kekeluargaan.
Suku-suku dayak dayak terbagi dalam berpuluh-puluh suku bangsa, terbagi lagi
beratus-ratus anak suku.
Menurut keterangan, bapak suku
Ot Danum adalah 2 orang sehingga Ot Danum terbagi atas 2 macam suku. Daftar
suku-suku ini tidak jelas karena salah satu hal yaitu catatan tidak ada
sehingga perlu diselidiki lagi kebenarannya dan penjelasannya.
Bahwa sekarang ada terdapat
bahwa Duhoi itu menamakan dirinya “Dohoi Miri atau Dohoi Habadong”. Tentang
suku-suku Dayak Ot Danu mini walaupun sebagiannya tersebar dimana-mana tetapi
mereka tetap setia kepada sukunya, bahkan selalu setia kawan. Dan Dayak Ot
Danum banyak sekali bercampur dengan suku Dayak Heban dan Iban dari itu mereka
mempunyai sifat-sifat dan tabiat yang bersamaan. Suku-suku dayak di Kalimantan
ini tidak ada perbatasan seperti dengan Inggris atau Kalimantan Utara, karena
menurut pendapat mereka bahwa merekalah yang dari dulu hidup leluasa diseluruh
daerah dan oleh sebab itu tidak heran jika suku dayak dari Kalimantan Selatan,
Timur dan Barat sering-sering jalan kaki pulang balik ke daerah Inggris. Lepas
dari soal politik, bagi mereka adalah hanya hubungan kekeluargaan sesuku,
sebangsa, setanah air. Sebab yang memisahkan mereka hanyalah orang asing
(pendatang) yang menjajah mereka, sehingga mereka seakan-akan terpecah-pecah.
Padahal suku dayak heban, Punan Bahau, Ot Danum yang ada di Kalimantan Selatan,
Barat, Tengah dan Timur mempunyai hubungan kekeluargaan dengan suku tersebut
yang berada di daerah Inggris.
D.
Tentang Susunan dan Tingkatan di Masa yang
Lampau.
Dalam arti kebudayaan termasuk
adapt istiadat, sejarah, dll hingga dengan ini tambah erat untuk tetap
mempertahankan diadakan jabatan demang kepala adat. Kerapatan adapt yang
dipimpin oleh demang sebagai ketua mempunyai anggota yang terjadi dari tetuha
terkemuka yang tinggal berdiam di Ibukota Kedemangan dan penasehat-penasehat
atau disebut juga penghulu adapt dari tiap-tiap suku yang ada terdapat dalam
daerah kedemangan. Penghasilan kerapatan adapt yaitu 10 % dari jumlah taksiran
harga barang “yang diperkarakan” dibayar oleh kedua belah pihak, “ pengadu dan
yang di adu” masing-masing % %, dibagi kepada ketua, anggota dan penasehat dari
kerapatan adapt.
Dengan adanya kepala-kepala
adapt, tempat kediaman yang tetap dan pengetahuan tentang peradapan luar
negeri, maka terjadilah susunan dan tingkatan diantara penduduk, terutama
dimasa yang lampau atau pedalaman ialah :
1.
Kepala kampung, yang pertama sekali turunnya menyerupai
kaum bangsawan (priayi) yang pertama-tama. Mereka menjalankan perintah,
mengumpul hasil-hasil tanah, berdagang dan tiap-tiap tahun menagih pajak dan
lain-lain dari penduduk yang dibayarkan kepada pemerintah. Disebabkan kedudukan
dan ilmu pengetahuan yang sedikit sempurna mereka sangat mempengaruhi penduduk
dengan jalan ini dipakainya untuk menyampaikan maksudnya. Maka dengan
sendirinya timbulah perbedaan diantara mereka yaitu tuan-tuan dan budak-budak,
orang bangsawan dan orang-orang pantan.
2.
Orang-orang Pantan yaitu penduduk asli, sekarang
dijadikan pendudk jelata. Mereka mengerjakan tanah kepunyaan mereka sendiri,
mengumpulkan rotan, dammar dan sebagainya yang keuntungannya untuk mereka
sendiri. Selainnya dari ini mereka diwajibkan pula menurut segala perintah
kepala-kepala mereka dan harus menghadap jika diminta tenaga mereka buat
mengerjakan barang sesuatu untuk kepentingan umum atau kepala-kepala mereka.
Disebabkan hal-hal seperti tersebut diatas maka nyatalah bahwa keadaan penduduk
bergantung kepada buruk baiknya kepala-kepala mereka, begitu juga senang
susahnya penghidupan mereka.
3.
Orang-orang merdeka kebanyakan terdiri dari keluarga
jauh dari kepala-kepala kampong, menyerupai asalnya penduduk. Mereka dibebaskan
dari pembayaran pajak dan lain-lainnya mempunyai pekerjaan sendiri dan hanya
dalam pekerjaan umum untuk kepentingan diminta tenaga mereka.
4.
Orang-orang jipen terdiri dari orang-orang mereka
menjadi budak kepala-kepala kampong dan orang-orang merdeka yang kaya raya.
Juga orang pantan dan lainnya diijinkan memelihara budak. Mereka ini tidak ada
mempunyai harta benda. Makanan, pakaian dan keperluan lainnya, mereka diberikan
oleh tuan-yuan mereka. Kemerdekaan hanya dapat diperoleh jika mereka itu telah
dapat membayar hutangnya sampai habis. Sebaliknya hutang yang tidak dibayar
habis ji ka mereka meninggal, jatuh kepada turunan mereka, beginilah seterusnya
sehingga hutangnya terbayar habis.
5.
Orang-orang abdi yaitu orang yang dibeli. Mereka yang malang ini ditawan dari
sepanjang pesisir. Perbuatan yang tidak mengenal perikemanusiaan ini, karena
kerasnya peraturan yang diambil Gubernemen tidak dilakukan lagi dan sebagian
besar dari pengangkutan orang abdi kedalam negeri ditiadakan sehingga pada
akhir perbutan ini lenyaplah orang-orang abdi yang tidak mempunyai hak-hak
hidup. Jikalau mereka tidak kuat lagi untuk bekerja dijadikan korban upacara
yang besar.
6.
Orang-orang tangkapan atau orang tawanan
7.
Sebagian dari penduduk terdiri pula dari orang tamuei
atau orang asing. Mereka ini bukannya penduduk asli, akan tetapi orang-orang
dagang. Selama mereka berada dikampung mereka harus pula menurut segala
perintah yang diberikan. Dengan suatu perjanjian mereka itu dapat disamakan
hak-haknya dengan penduduk.
8.
Dahulu kala rakyat dayak memelihara “Jipen” atau
“Rewar” (budak – hamba – sahaya) Permulaan ada Jipen yaitu selagi pecah
peperangan di Pulau Kupang selagi Nyai Udang.
Diterangkan bahwa semua musuh
yang kalah ditangkap, ditawan. Jadi tawanan itulah yang menjadi jipen Nyai
Undang. Sekarang sudah tidak ada lagi hanya sebutannya masih ada yaitu utus
tiling artinya miring. Sebabnya sampai sekarang masih disebut itu turunan,
yaitu :
a.
Oleh karena orang yang asal usulnya “Jipen” dan
tentulah anak turunannya tetap dinamai “utus jipen” atau sering juga disebut
Jipen turus bahandan artinya Jipen seumur hidup akan tetapi ada juga beberapa
orang yang dinamai Jipen kabalik atau Jipen akan dibunuh.
b.
Kejadian lantaran mempunyai hutang dan tidak bias
membayar hutangnya terpaksa menjadi “Jipen” atau dinamai manempu kebanyakan
lantaran hutang tidak bias membayar, karena tidak mempunyai harta benda,
makanan dan lain-lain. Kemerdekaan hanya dapat diperoleh bilamana mereka dapat
membayar hutangnya sampai habis. Tetapi sebaliknya jika hutang itu tidak dapat
dibayar habis, karena ia meninggal dunia, maka turunan mereka wajib meneruskan
membayar hutang itu sampai tunai.
Orang abdi ini dahulu kala
orang yang dibeli. Mereka ditawan dipesisir karena hendak merusak rakyat Dayak.
Mereka itu terdiri dari orang perempuan dan anak-anak yang diperlakukan seperti
abdi.
Tentang kedudukan orang
pendatang yang dinamai “oloh tamuei” atau orang asing mereka ini bukanlah
penduduk asli akan tetapi orang dagang. Maka selama mereka berada di kampung
rakyat dayak, dan menurut perintah dari kepala tempat tersebut. Tetapi mereka
itu tetap diperlindungi oleh “hukum adat” yaitu menjaga kaum pendatang, karena
rakyat dayak merasa malu kalau orang dating ketempatnya mendapat susah.
Kebagusan bangun tubuh,
kekuatan dan ketangkasan suku ini bertambah-tambah jika mereka tinggal jauh
dari udik. Juga warna kulit mereka bertambah bagus. Dipedalaman pulau Kalimantan terdapat suatu bangsa yang sama dengan orang
papua, yaitu berkulit dan berambut hitam. Akan tetapi menurut pendapat tokoh adat
setempat apa yang diceritakan ini dibuat-buat saja. Beberapa orang papua yang
terdapat disebelah timur dan Selatan Pulau ini adalah yang berasal dari tanah
papua, yang telah ditawan oleh bajak-bajak laut bangsa sulu dan dibawa kepulau
ini. Menurut kata nenek moyang mereka tiba di pulau Kalimantan
ini dengan memakai perahu emas dan telah menduduki pulau ini. Gunung-gunung
yang terpenting waktu itu adalah gununung Bundang, gunung Keminting, gunung
Raya. Jauh dipulau Kalimantan dimana penduduk
belum pernah melihat lautan dan danau kerap kali kita dapati dimuka pintu rumah
mereka gambar-gambar atau lukisan sebuah perahu yang bentuknya aneh sekali.
Asal dan bagaimana rupa nenek moyang mereka yang mendiami pulau ini dan apa
pulau ini pada waktu itu sudah didiami atau tidak, tentang ini ada riwayatnya.
Menurut orang tua-tua suku dayak bahwa asal usul orang dayak dari dewa yang
diturunkan dengan Palangka Bulau di tengah-tengah Kalimantan
dan ini dapat diketahui dari sejarah yang disampaikan dari mulut ke mulut yang
dinamai Tetek Tatu. Adapun “Tetek Tatum” artinya ratap tangis atau sejarah yang
asli.
E.
Keadaan Penduduk di jaman dahulu kala.
Nenek moyang suku dayak yang
sekarang ini, diwaktu dahulu telah mengetahui tentang susunan pemerintahan,
berilmu pengetahuan masih terbelakang hanya mengenal hokum adapt. Penghidupan
mereka sangat sederhana sekali, mereka itu bertempat kediaman yang tidak tetap,
beserta mendiami pondok-pondok yang sederhana sekali.
Senantiasa hidup mereka itu
mengembara dalam keadaan ini mereka disertai segala kesengsaraan. Pakaian
dibuat sendiri dari kulit kayu. Perbedaan diantara mereka itu (tinggi rendahnya
derajat) tidak begitu dihiraukannya.
Dijaman itu mereka ada dibawah
pemerintahan kerajaan sendiri. Utusan jauh dikirimkan kedalam Kalimantan
dengan maksud mengumpulkan bangsa-bangsa yang hidup berpisahan itu sehingga
terjadilah kampong-kampung dimana mereka hidup bersama-sama. Mereka dipelajari
tentang menanam padi, barang-barang lain yang perlu untuk penghidupan
sehari-hari. Dan kini keadaan sangat besar perubahannya dan kemajuan mereka.
F.
Tentang Pendirian dan Perhubungan
Kampung-Kampung Seksama.
Permusyawaratan diantara kepala-kepala
kampung untuk membicarakan dalam mencapai sesuatu dimaksud selain dalam keadaan
peperangan sering diadakan. Hanya dalam keadaan yang sulit sekali umpamanya
jikalau ada bahaya mengancam diadakan permusywaratan diantara kampung-kampung
itu secara istimewa.
Perbantahan diantara
kampung-kampung itu adalah suatu hal yang belum pernah kejadian. Akan tetapi
jika ada juga timbul perbantahan antara kampung – kampung itu maka berkumpullah
kepala-kepala lainnya untuk memeriksa keadaan perkara itu dan menganjurkan
supaya berdamai saja atau kepada pihak yang bersalah dijatuhkan hukuman denda.
G.
Hak atas tanah.
Empunya tanah yang dilindungi oleh
hak dan wet atas tanah tidak ada, baik kampung –kampung atau penduduknya.
Keadaan penduduk sebelum peradaban menimbulakan akarnya, hidup senantiasa
mengembara, negeri dipandang mereka sebagai kepunyaan tiap-tiap orang. Perasaan
yang sekarang masih hidup diantara mereka, seperti dapat kita ambil kesimpulan
dari kemauan yang keras untuk mengembara, berpindah tempat kediaman, memindah
letaknya kampung. Dalam hal ini dimana sekarang sudah berlainan dan mulai maju
sesuai dengan keadaan jaman.
H.
Tanda-Tanda Pengenalan Kampung di Pedalaman
Kapuas.
Kalau kita dalam hutan tidak
diketahui arah, dekat, jauhnya kampung, maka beberapa tanda yang perlu
diketahui untuk mengenal kampung atau telah dekat dengan manusia sebagai
berikut :
1.
Bunyi kokok ayam, berarti dekat kampung
2.
Kalau naik pohon dapat dilihat asap api
3.
Bunyi salakatok (sebangsa bunyi-bunyian dari bambu)
yang biasanya dipakai diladang-ladang untuk mengusir binatang-binatang.
4.
Bunyi gong, sebab dipedalaman kadang-kadang
dikampung-kampung sering ada upacara atau pesta-pesta dengan membunyikan gong.
5.
Pohon-pohon kayu bekas lading lama, berarti dekat
kampung
6.
Suara sapi
7.
Bekas-bekas jalan kaki ditanah
8.
Dipinggir-pinggir sungai selalu ada ditanam pohon
kelapa, pinang dan buah-buahan terutama durian.
Untuk mencari sungai-sungai
besar kita harus dapat berjalan mengikuti jalannya arus air dari tanah yang
tinngi dan diikuti terus, pasti berakhir akan dapat ketemu anak- anak sungai
yang akhirnya ke induk sungai.
Kalau waktu dihutan,
usaha-usaha untuk menghindarkan gangguan binatang-binatang buas :
a.
siang :
sering-sering memukul akar kayu besar, akar tersebut dinamai “baner”
b.
Malam : Dibakar Lombok, garam, biasanya bau Lombok bikin takut beruang dan orang hutan.
Kepercayaan
Rakyat :
a.
Untuk menolak gangguan hantu-hantu dibakar Lombok, garam dan buah terung.
b.
Dikampung, dihutan-hutan dipedalaman biasanya dilarang
membakar terasi (atau balasan alias pampadi, sampadi, acan) sabut kelapa, ikan
saluang, karena katanya dapat didatangi/disenangi hantu/jin dan lain-lain.
Petunjuk
/ Tanda Pengenal :
1. Kulat Danum (jamur air) :
a.
Apabila timbulnya dipantai diatas pada batang yang
terdampar disitu, suatu tanda bahwa air akan dalam / air naik.
b.
Apabila tumbuhnya dibawah dari batang tersebut adalah
tanda (ciri) air kan
surut.
2.
Telur Kalambuei :
Apabila kalambuei bertelur adalah tanda (ciri) air akan
dalam setinggi tempatnya bertelur, maka setinggi itulah air akan naik.
3.
Kalau akar pohon kayu-kayu yang menjalar (dalam bahasa
dayak bajakah, langeh) mulai keluar akar muda menandakan akan banjir dan musim
hujan.
4.
Kalau katak banyak berbunyi malam, terutama pagi-pagi
menandakan akan hujan
5.
Kalau burung laying-layang (kalialang) terbang diatas
sungai banyak dan menyambar-nyambar air, maka alamat akan hujan
6.
Kalau kucing menyuap (membasuh kaki dimukanya) alamat
ada tamu.
7.
Kalau ikan biawan (tabakang bahasa dayak) mulai
bertelur memberikan tanda akan musim kemarau.
8.
Kalau dihutan terdapat tiang bambu yang runcing
ujungnya dipasang miring bahwa arah penunjuk ujung bambu tersebut
memberitahukan : jangan berjalan kearah tersebut karena ada “dondang” yaitu
suatu alat untuk membunuh babi, rusa, kijang dan lain-lain nama jenis bambu
yang dipasang demikian ialah selugi.
9.
Kalau ada melihat perahu yang terikat dipinggir sungai
ternyata ada dahan kayudengan daun-daunnya, terletak ditengah-tengah perahu itu
memberitahukan kita perahu ini jangan dibawa (dipakai) karena akan dipergunakan
(tidak lama lagi).
10. Kalau
kita kekampung ternyata ada rumah yang pintunya diikat dengan tali tergantung
daun sawang (jejuang) dan digaris kapur persegi empat maka berarti rumah itu
tidak boleh dinaiki (dimasuki) karena ada pantangan/larangan adapt.
11. Kalau
dikebun-kebun rakyat, kita lihat pohon buah-buahan yang sedang berbuah ada
diikat daun-daun dibatangnya atau dipasang selugi dan bambu itu
menyatakanlarangan mengambil/menaiki pohon buah itu karena buahnya disimpan
untuk keluarga mereka.
12. Sopan-sepan
:
Ø
Adalah sumber air yang rasanya asin, biasanya
binatang hutan seperti rusa, kijang suka sekali mendatangi sepan tersebut.
Ø
Biasa juga sepan itu dibuat dari batang kelapa
yang dibubuhi garam gunanya sepan itu tempat berburu, tempat mengintai
binatang-binatang hutan oleh pemburu-pemburu baik dengan mempergunakan senjata
api atau tombak.
Ø
Ada
sepan, sopan yang terkenal yaitu “sepan apoi” merupakansatu danau kecil dihulu
sungai senamang diudik kampung Balai Bahe, airnya asin dan agak panas. Kalau
sore mulai sekitar jam 16.00 wib berduyun-duyun binatang hutan, burung
berkumpul ketempat tersebut untuk minum air asin tadi.
I.
Tentang Adat – Istiadat Suku Dayak
Yang terutama kalau kita
dating kekampung-kampung dayak, harus bertemu dengan pembekal (kepala kampunya)
atau wakilnya untuk menerangkan nama, dari mana, hendak kemana, apa maksud
perjalanan kita dan mau tinggal berapa lama, berapa temannya, membawa apa dan
sebagainya.Kalau sudah berkenalan dan kita menyerahkan nasib kita kepada
kepalanya minta perlindungan dan berjanji akan tunduk kepada “adat istiadatnya
“ barulah diumumkan kepada anak kampungnya.
Kalau kita naik rumah mereka
terlebih dahulu kita minta izin dan jangan lupa harus ditanya ada laki-laki
atau tidak. Kalau ada laki-laki harus ditanya apa boleh naik apa tidak. Kalau
naik kerumahnya biasanya dipersilahkan duduk diatas tikar dilantai. Mereka
tidak memakai meja atau kursi.
Kadang-kadang lantaran
hormatnya mereka memberi arak dalam
bahasa dayak baram atau danum tewun tihang. Lebih baik kita minum walaupun
sedikit saja, karena kalau kita menolak dan tidak mau menerimanya (meminumnya),
perasaan mereka kurang senang, seakan-akan sambutan mereka tidak diterima.
Padahal mereka memberi itu lantaran menghormati tamu. Kadang-kadang kalau
mereka menyambut kedatangan tamu diadakan tari-tarian dan bunyi-bunyian.
Lantaran hormatnya dengan tetamu dan diajaknya menari walaupun kita tidak
senang dan tidak pandai agar mereka girang. Tempat arak (baram) yang diberikan
kepada kita biasanya dalam tanduk sapi atau kerbau yang sudah bersih sebagai
ganti gelas.
Biasanya kalau tetamu agung
dating (pembesar) mereka menyambut dengan teriakan bersama-sama tanda girang
dan hormat menyambut pahlawan sampai 7 kali berturut-turut begini :
Lo-lo-lo-lo-lo-lo-lo-loooooo-kooooo-ei (namanya dalam bahasa dayak”malahap”
yang semuanya untuk menyambut dan menghantar panglima-panglima ke medan perang)
Kadang-kadang kalau tamu itu dating dari jauh atau tamu agung (orang
berpangkat) menyambutnya dengan perahu (dalam bahasa dayak disebut
hatahusung-hataharang) yang dihiasi dengan bulu-bulu burubg, diukir dan
disertai pula dengan nyanyian, bunyi-bunyian dan bukung serta tari-tarian dalam
perahu namanya bukung (menyerupai topeng) untuk mengelok-elokan tetamu serta 7 kali mengelilingi perahu
tetapi sambil berteriak bersama-sama (melahap) : Lo-lo-lo-lo-lo-lo-lo-ei !!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar