Sejarah Bontang


Dari cerita mulut ke mulut ada seorang kerabat Sultan Kutai yang bernama Aji Pao, dengan bekal tekad dan semangat beliau berjalan ditemani beberapa orang kepercayaannya untuk mencari tempat yang dapat dijadikan sebagai lahan berkebun,berburu dan sekaligus tempat tinggal baru untuk pengikutnya. Banyaklah sudah bukit yang di daki,curah yang di turuni,dari tanjung ke tanjung dan akhirnya sampailah rombongan Aji Pao di suatu tempat, yang ternyata daerah itu di jaga oleh jin yang bergelar SANG, yaitu SANG ATTAK sebagai penjaga anak sungai Api-Api yang disebut Sanggata. Kedua adalah SANG KIMA, penjaga aliran anak sungai Sangkima. Ketiga adalah SANG ANTAN yang juga menjaga daerah aliran anak sungai api-api yang sekarang disebut Santan.
Lalu Aji Pao minta kepada ketiga Sang agar tempat itu dijadikan daerah pemukiman dan sekaligus untuk lahan berkebun,berburu dan tempat mengelola hasil hutan. Ketiga Sang itu akhirnya bersedia mengabulkan permintaan Aji Pao, dan bahkan menjanjikan untuk ikut mmenjaga keamanan dan keselamatan beliau beserta keluarga dan pengikutnya. Ternyata pilihan kerabat Sultan Kutai ini tidak salah,daerah aliran sungai itu memang subur karena hasil panen yang pertama bulir padinya panjang dan berisi, begitu pula labu parang yang mereka panen sangat memuaskan . Binatang buruan seperti pelanduk dan payau mudah didapat, jerat yang di- pasang tak pernah lepas. Begitu juga lautnya, kaya dengan berbagai macam jenis ikan dan binatang laut yang dapat dimakan. Demikianlah, setelah Aji Pao dan para pengikutnya berhasil membuat lumbung yang tidak hanya berisikan padi tapi juga berbagai jenis palawija,dendeng dan salai. Maka berbaliklah Aji Pao dengan para pengikutnya ke Kutai untuk memgabarkan situasi dan keadaan dari daerah yang baru ini kepada masyarakat Kutai. Lalu beliau dan pengikutnya membawa keluarga masing-masing untuk tinggal di daerah baru tersebut yang bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Kutai yang ke 16 yaitu Sultan Aji Muhammad Salehuddin (1782-1850), perpindahan itu diperkirakan sekitar tahun 1826.
Mulai tahun 1826 itulah Aji Pao diangkat oleh kaum kerabat dan pengikutnya untuk menjadi petinggi yang pertama di kampung yang belum bernama ini.Seterusnya tidak diketahui petinggi yang berikutnya karena minimnya literature dan tulisan tentang perjalanan komunitas masyarakat yang baru ini, yang jelas kita hanya mengetahui orang pertama yang mendiami sekaligus pemimpin pertamanya.
Waktu pun terus berjalan, begitu juga halnya dengan perkembangan masyarakat wilayah pesisir ini yang awalnya di huni oleh Melayu Kutai, yang dengan ketekunan dan semangat bisa membangun sistem pasar. Transaksinya dengan jalan barter atau tukar menukar barang, misalnya mereka menawarkan hasil berkebun, hasil buruan dan laut untuk ditukarkan dengan alat keperluan rumah tangga atau barang yang dapat mereka hasilkan, seperti tembakau,gula,garam,alat-alat berkebun dsb. Dengan tumbuhnya system pasar membuat kampung itu makin maju dan menarik orang seberang atau sulawesi yang biasa disebut dengan bugis dan bajao. Hijrahnya orang sulawesi ini terjadi sejak 1900 an. Kehadiran warga seberang ini membuat wilayah mereka semakin ramai, sehingga pendatang yang pria menikahi wanita setempat,begitu juga sebaliknya. Tak ketingga- lan juga melayu banjar yang datang dari selatan, turut serta membaur dan menetap di kampung ini.
Karena sulitnya komunikasi antara mereka yang berbeda bahasa, maka dipakailah bahasa melayu yang merupakan bahasa trend di waktu itu, karena siaran radio yang menjadi hiburan masyarakat selalu memakai bahasa melayu dan lagu-lagunya juga melayu. Penggunaan bahasa melayu jadi bahasa sehari-hari oleh generasi pertama yang lahir di wilayah ini pada tahun 1920 an dan terus diwariskan pada generasi berikutnya.
Adanya tatanan masyarakat yang terus maju serta pertumbuhan penduduk akibat kelahiran dan bertambahnya jumlah pendatang maka pasar juga ikut berkembang, sampai-sampai para pedagang cina berbis- nis di wilayah ini, pedagang cina itu ahli dagang makanya mereka dapat menguasai pasar dalam waktu singkat dengan cara menawarkan barang yang memang menarik dan disukai terutama bagi para wanita. Sedangkan di sisi lain, para pedagang cina itu bermurah hati menawarkan barang dagangannya melalui system “ Ambil dulu, bayar nantilah”.
Dengan kemurahan hati itu, tanpa pikir lagi anggota-anggota masyarakatnya pun mengambil, ambil dan ambil terus, masalah pembayarannya nanti setelah mereka pulang dari berburu,berkebun dan melaut.Kebiasaan ambil dulu bayar nanti, membuat pedagang cina terpaksa menuliskan bon untuk setiap transaksi. Bila penghasilan mencukupi untuk membayar bon maka lunaslah, tapi tak jarang beberapa orang tak mampu melu- nasi harga barang yang telah di masukkan di dalam bonnya , sehingga sisa bon yang tidak terbayar itu dimasuk- kan pedagang cina sebagai hutang.Akhirnya hutang semakin hari semakin menumpuk, di sisi lain juga nelayan tidak dapat melaut karena cuaca buruk, maka jalan keluarnya adalah bon,bon dan bon. Dari kebiasaan ngebon itu timbullah suatu istilah “ Tidak bisa bayar Bon jadi Hutang,Bontang”. Mulai saat itu masyarakat yang tinggal di muara sungai api-api mendapat sebutan sebagai masyarakat Bontang, karena tumpukan lembaran kertas bon yang tak terbayar lalu menjadi hutang.
Dalam cerita yang lain dari asal muasal Bontang bahwa sekitar 1900 an, sekelompok masyarakat berdiam di suatu pesisir pantai yang rumahnya berbentuk panggung dan berada di atas air jika terjadi air pasang,profesi mereka tukang kayu,petani,nelayan dan pedagang. Kelompok masyarakat ini berasal dari bermacam-macam suku yang berbeda bahasa seperti Bajao,Bugis,Kutai,Banjar,Arab dan Melayu. Namun perbedaan bahasa itu secara bertahap di satukan oleh bahasa melayu yang sampai sekarang tetap bertahan selama seabad atau seratus tahun. Memang di jaman sebelum kemerdekaan RI bahasa melayu merupakan bahasa percakapan di wilayah Kalimantan termasuk serawak,sumatera dan tanah malaka atau Malaysia saat ini karena di saat itu belumlah ada istilah bahasa Indonesia. Melihat keadaan masyarakat yang tinggal pesisir ini, seorang bangsawan Kutai bernama Aji Pao yang tinggal didaerah ini menamakannya BONTANG, yang singkatannya adalah Bon atau Bond berarti perkumpulan/gabungan dan Tang yang diambil dari kata Pendatang.
Bontang pertama yang sekarang di sebut Bontang Kuala merupakan tempat bermukim generasi pertama dan kedua, setelah generasi yang kedua menikah mencarilah mereka tempat yang baru di sebelah utara atau Lok Tuan yang transportasinya menggunakan perahu layar. Dan sebagian lagi menuju ke barat atau ke daratan yang sekarang di sebut Bontang Baru. Generasi kedua yang lahir sekitar 1920-1930 an ini jika berkomunikasi dengan keturunannya mereka menggunakan bahasa melayu, begitu juga dengan saudara,sepupu dan keponakannya hingga bahasa melayu menjadi bahasa sehari-hari diantara kelompok masyarakat yang mulai berkem- bang ini. Pengaruh kondisi alam yang panas karena berada di pesisir pantai, bahasa melayu yang ada di sini agak kasar dan keras dibandingkan bahasa melayu lainnya atau juga disebabkan karena pengaruh temperamen atau karakter dari sulawesi. Dengan ciri bahasa nya maka bahasa disini sebut dengan bahasa bontang yang induk bahasa nya berasal dari kutai melayu dengan logat bugis.